Monday, April 27, 2015

Jangan Pernah Sekali Kali Membenci Ibu atau?

Jangan Pernah Sekali-Kali Membenci Ibu, atau?


Orang sehat yang otak (pikiran) masih normal sangat mudah merekayasa keadaan dengan cara membuat hati dan pikiran tidak sinkron. Namun, orang sakit yang otaknya terganggu pasti tidak akan bisa merekayasa keadaan, ia akan berbicara apa yang ia rasa sesuai kondisi hatinya.

Hingga 18 tahun dirinya mampu menyembunyikan apa yang terjadi hingga aku membungkus itu semua dengan rasa kebencian. Beberapa pertanyaan yang sering aku lontarkan kepada suamimu apakah aku ini anak kandungmu? Mengapa dirimu memperlakukanku bagaikan anak tiri?

H-3 sebelum kepergianmu, mukizat Illahi datang membuatmu mampu berbicara kembali dengan mata terbuka meski tidak ada satu anggota tubuhmu yang bergerak. Saat itu lah semua pertanyaanku tejawab oleh hatimu bukan pikiranmu. Dan aku sempat tak percaya jika itu adalah ucapan-ucapanmu yang tak pernah aku dengar sebelumnya. Pertanyaan ini mengalir dengan satu hembusan nafas.

“Mengapa Kau selalu tidak mau jika aku mengikutimu kemanapun kau pergi? Mengapa Kau melihatku begitu jijik hingga tak pernah Kau menyentuhku? Mengapa Kau selalu saja galak terhadapku hingga aku yang diam tidak melakukan apa-apa selalu saja menjadi incaran omelanmu? Mengapa Kau tidak pernah memeluk aku? Mengapa Kau selalu saja bersikap berbeda, sangat berbeda jika dibandingkan bersikap ke adik-adikku? Mengapa Kau tidak pernah mau mengambil rapor sekolahku hingga aku perlu menangis tersungkur memohon-mohon kepadamu? Apa salahku? Apakah aku ini bukan anakmu? Ataukah aku ini memang tidak diinginkan untuk dilahirkan? Beri aku penjelasan”

Tak boleh aku menitikkan air mata kesedihan di hadapannya karena menjaga hatinya dari jawaban kalimat dusta. Aku melihat matanya yang polos seakan hatinya saja yang berbicara karena terbangun dari pejaman mata 8 bulan lamanya. Tanpa menitikkan air mata darinya dan lisan yang cukup terbata karena mungkin saatnya rahasia 18 tahun itu usai disembunyikan.

“Aku malu jika aku harus berjalan beriringan denganmu. Aku malu karena tidak ada hal yang bisa aku lakukan atau aku bantu karena kamu bisa melakukan semua hal sendirian. Aku malu kamu memakai kerudung, sedangkan aku tidak. Aku malu kamu pandai mengaji, tetapi aku tidak. Aku malu kamu begitu terkenal di sekolah, sedangkan aku hanya wanita biasa tanpa prestasi apa-apa. Aku malu jika aku harus menyuruhmu memasak, mencuci, atau sekedar membantuku di dapur karena aku takut melukaimu jika kamu terkena cipratan minyak, takut kamu lelah mengurusi tugas yang seharusnya aku kerjakan, takut kamu tidak fokus dengan tugas belajarmu di sekolah. Aku malu bertemu dengan guru-guru dan teman-temanmu kalau sang juara umum yang selalu ranking 1 mempunyai ibu seperti aku yang mengambil rapor anaknya dengan pakaian lusuh yang tak sedap dipandang, tidak pandai mengaji, tidak pandai sepertimu, tidak secantik dirimu, tidak seriang dirimu, dan tidak sepopuler dirimu. Aku malu kalau semua orang tahu kalau kamu adalah anakku, anak dari seorang wanita biasa yang tidak seperti orang lain bahkan kamu harapkan”

Pecah tangisku di dapur rumah karena tak sanggup aku menahannya. Semua yang dipikirkannya itu salah, salah besar. Justru kegengsiannya tanpa alasan yang tepat itu mampu membuatku sebal melihatnya.

Timpa maafnya lagi selagi aku kembali dari dapur dan memastikan tidak ada sisa air mata yang tertinggal di wajahku.

“Maafkan aku karena telah merepotkanmu menggantikan pampersku setiap hari bahkan di dalam kereta. Maafkan aku karena telah membuatmu lelah mengangkatku kesana kemari dengan kedua tanganmu yang kecil dan tubuhmu yang lemah. Maafkan aku karena dengan mengurusiku maka kuliahmu harus tertunda. Maafkan aku karena telah membuat waktu tidurmu berkurang. Maafkan aku karena telah mengganggu waktu belajarmu. Maafkan aku karena semua kesalahanku. Satu hal yang perlu kamu tahu, aku tidak pernah membencimu, aku tidak pernah tidak menginginkan kehadiranmu bahkan orang lain berebut denganku untuk mengasuhmu, aku tidak pernah ingin jauh darimu, dan aku tidak pernah tidak mendoakan yang terbaik untuk dirimu. Mungkin sudah saatnya kamu tahu, kini lanjutkanlah kuliahmu yang sempat tertunda. Janganlah kamu membohongi aku padahal aku tahu apa yang sebenarnya terjadi. Aku tidur lama, tetapi batinku selalu terhubung denganmu. Aku tahu mengapa kamu bersedih, aku tahu mengapa kamu senang, dan aku tahu saat kapan dirimu merasa ketakutan. Tak perlu kamu membohongi aku agar aku merasa senang. Kamu lahir dari perutku. Sudah cukup kamu merawatku. Sudah banyak waktu yang kamu buang untuk merawatku. Tidak ada satupun seorang Ibu yang membenci anaknya meski ia sangat galak. Itu semua aku tutupi karena rasa gengsiku kepadamu, rasa minder agar kamu tidak terlihat memalukan di hadapan orang lain. Aku sangat bangga punya dirimu, Kiar anak pertamaku”

Setelah lebaran, setelah 3 hari dari ucapannya dirinya pergi bersama kedamaian hatiku. Pertanyaanku terjawab sudah dengan perasaan bersalah dan menyesal. Namun, 3 tahun itu kuputuskan untuk selalu bersamanya, ya rasa yang selalu berbekas dan rindu tak berujung.

“Maafkan aku yang salah menilaimu. Satu hal yang perlu Kau tau, aku tidak pernah membencimu hanya aku berdoa supaya Allah senantiasa memecah keraguanku. Ya, 3 hari sebelum Kau pergi. Tak perlu Kau meminta maaf kepadaku karena hanya itulah yang bisa aku balas di sisa harimu, tanpa aku tahu ternyata secepat itu kebersamaan ini terjalin rapih dan harus berakhir. Bagiku, Kau wanita sungguh luar biasa. Karena dirimu, aku yang terlahir cacat bisa tumbuh dengan sangat normal dengan kesungguhanmu merawatku hingga tak ada satupun orang yang menyadari apa kekuranganku. Apakah itu bukan prestasi dirimu? Ingin aku mengatakan ini sebelum Kau pergi, tetapi semoga dengan doaku dapat mengantarkanmu ke tempat yang sangat nyaman. Aku bangga dengan dirimu karena dengan tanganmu aku bisa seperti sekarang ini. Maafkan aku jika aku salah menjalankan peranku sebagai anak. Selamat Hari Ibu, semoga Allah SWT selalu menyayangimu dan mendekapmu dengan kasih sayang-Nya

No comments:

Post a Comment