Jangan Pernah Sekali-Kali Membenci Ibu, atau?
Orang sehat yang otak (pikiran) masih normal sangat mudah
merekayasa keadaan dengan cara membuat hati dan pikiran tidak sinkron. Namun,
orang sakit yang otaknya terganggu pasti tidak akan bisa merekayasa keadaan, ia
akan berbicara apa yang ia rasa sesuai kondisi hatinya.
Hingga 18 tahun dirinya mampu menyembunyikan apa yang
terjadi hingga aku membungkus itu semua dengan rasa kebencian. Beberapa
pertanyaan yang sering aku lontarkan kepada suamimu apakah aku ini anak
kandungmu? Mengapa dirimu memperlakukanku bagaikan anak tiri?
H-3 sebelum kepergianmu, mukizat Illahi datang membuatmu
mampu berbicara kembali dengan mata terbuka meski tidak ada satu anggota
tubuhmu yang bergerak. Saat itu lah semua pertanyaanku tejawab oleh hatimu
bukan pikiranmu. Dan aku sempat tak percaya jika itu adalah ucapan-ucapanmu
yang tak pernah aku dengar sebelumnya. Pertanyaan ini mengalir dengan satu
hembusan nafas.
“Mengapa Kau selalu tidak mau jika aku mengikutimu kemanapun
kau pergi? Mengapa Kau melihatku begitu jijik hingga tak pernah Kau
menyentuhku? Mengapa Kau selalu saja galak terhadapku hingga aku yang diam
tidak melakukan apa-apa selalu saja menjadi incaran omelanmu? Mengapa Kau tidak
pernah memeluk aku? Mengapa Kau selalu saja bersikap berbeda, sangat berbeda
jika dibandingkan bersikap ke adik-adikku? Mengapa Kau tidak pernah mau
mengambil rapor sekolahku hingga aku perlu menangis tersungkur memohon-mohon
kepadamu? Apa salahku? Apakah aku ini bukan anakmu? Ataukah aku ini memang
tidak diinginkan untuk dilahirkan? Beri aku penjelasan”
Tak boleh aku menitikkan air mata kesedihan di hadapannya
karena menjaga hatinya dari jawaban kalimat dusta. Aku melihat matanya yang
polos seakan hatinya saja yang berbicara karena terbangun dari pejaman mata 8
bulan lamanya. Tanpa menitikkan air mata darinya dan lisan yang cukup terbata
karena mungkin saatnya rahasia 18 tahun itu usai disembunyikan.
“Aku malu jika aku harus berjalan beriringan denganmu. Aku
malu karena tidak ada hal yang bisa aku lakukan atau aku bantu karena kamu bisa
melakukan semua hal sendirian. Aku malu kamu memakai kerudung, sedangkan aku
tidak. Aku malu kamu pandai mengaji, tetapi aku tidak. Aku malu kamu begitu
terkenal di sekolah, sedangkan aku hanya wanita biasa tanpa prestasi apa-apa.
Aku malu jika aku harus menyuruhmu memasak, mencuci, atau sekedar membantuku di
dapur karena aku takut melukaimu jika kamu terkena cipratan minyak, takut kamu
lelah mengurusi tugas yang seharusnya aku kerjakan, takut kamu tidak fokus
dengan tugas belajarmu di sekolah. Aku malu bertemu dengan guru-guru dan
teman-temanmu kalau sang juara umum yang selalu ranking 1 mempunyai ibu seperti
aku yang mengambil rapor anaknya dengan pakaian lusuh yang tak sedap dipandang,
tidak pandai mengaji, tidak pandai sepertimu, tidak secantik dirimu, tidak
seriang dirimu, dan tidak sepopuler dirimu. Aku malu kalau semua orang tahu
kalau kamu adalah anakku, anak dari seorang wanita biasa yang tidak seperti
orang lain bahkan kamu harapkan”
Pecah tangisku di dapur rumah karena tak sanggup aku
menahannya. Semua yang dipikirkannya itu salah, salah besar. Justru
kegengsiannya tanpa alasan yang tepat itu mampu membuatku sebal melihatnya.
Timpa maafnya lagi selagi aku kembali dari dapur dan
memastikan tidak ada sisa air mata yang tertinggal di wajahku.
“Maafkan aku karena telah merepotkanmu menggantikan
pampersku setiap hari bahkan di dalam kereta. Maafkan aku karena telah
membuatmu lelah mengangkatku kesana kemari dengan kedua tanganmu yang kecil dan
tubuhmu yang lemah. Maafkan aku karena dengan mengurusiku maka kuliahmu harus
tertunda. Maafkan aku karena telah membuat waktu tidurmu berkurang. Maafkan aku
karena telah mengganggu waktu belajarmu. Maafkan aku karena semua kesalahanku.
Satu hal yang perlu kamu tahu, aku tidak pernah membencimu, aku tidak pernah
tidak menginginkan kehadiranmu bahkan orang lain berebut denganku untuk
mengasuhmu, aku tidak pernah ingin jauh darimu, dan aku tidak pernah tidak
mendoakan yang terbaik untuk dirimu. Mungkin sudah saatnya kamu tahu, kini
lanjutkanlah kuliahmu yang sempat tertunda. Janganlah kamu membohongi aku
padahal aku tahu apa yang sebenarnya terjadi. Aku tidur lama, tetapi batinku
selalu terhubung denganmu. Aku tahu mengapa kamu bersedih, aku tahu mengapa
kamu senang, dan aku tahu saat kapan dirimu merasa ketakutan. Tak perlu kamu
membohongi aku agar aku merasa senang. Kamu lahir dari perutku. Sudah cukup
kamu merawatku. Sudah banyak waktu yang kamu buang untuk merawatku. Tidak ada
satupun seorang Ibu yang membenci anaknya meski ia sangat galak. Itu semua aku
tutupi karena rasa gengsiku kepadamu, rasa minder agar kamu tidak terlihat
memalukan di hadapan orang lain. Aku sangat bangga punya dirimu, Kiar anak
pertamaku”
Setelah lebaran, setelah 3 hari dari ucapannya dirinya pergi
bersama kedamaian hatiku. Pertanyaanku terjawab sudah dengan perasaan bersalah
dan menyesal. Namun, 3 tahun itu kuputuskan untuk selalu bersamanya, ya rasa
yang selalu berbekas dan rindu tak berujung.
“Maafkan aku yang salah menilaimu. Satu hal yang perlu Kau
tau, aku tidak pernah membencimu hanya aku berdoa supaya Allah senantiasa
memecah keraguanku. Ya, 3 hari sebelum Kau pergi. Tak perlu Kau meminta maaf
kepadaku karena hanya itulah yang bisa aku balas di sisa harimu, tanpa aku tahu
ternyata secepat itu kebersamaan ini terjalin rapih dan harus berakhir. Bagiku,
Kau wanita sungguh luar biasa. Karena dirimu, aku yang terlahir cacat bisa
tumbuh dengan sangat normal dengan kesungguhanmu merawatku hingga tak ada
satupun orang yang menyadari apa kekuranganku. Apakah itu bukan prestasi
dirimu? Ingin aku mengatakan ini sebelum Kau pergi, tetapi semoga dengan doaku
dapat mengantarkanmu ke tempat yang sangat nyaman. Aku bangga dengan dirimu
karena dengan tanganmu aku bisa seperti sekarang ini. Maafkan aku jika aku
salah menjalankan peranku sebagai anak. Selamat Hari Ibu, semoga Allah SWT
selalu menyayangimu dan mendekapmu dengan kasih sayang-Nya